Iklan BANNER Rubrikasi

Iklan BANNER Rubrikasi
JEJAK CAKAP DIGITAL & JEJAK KREASI

Nehemia Pareang Mengajak Ide Kreatif Dalam Film animasi Musikal KPop Demon Hunters

Editor: TAJUKNEWS.COM author photo

Nehemia Pareang Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sahid, memberikan ilustrasi ide budaya tentang cinema dan musik dengan mengawinkannya dengan skena K-pop masa kini Sutradara Maggie Kang  Jakarta, 05/08/2025. Kontribusi nya dalam menganalisis budaya dan film di asia sangat memberikan masukan inovasi dunia peran bagi dirinya dan masyarakat. @Son/Rubrikasi.com/rksi/08/2025.

RUBRIKASI.COM/ Jakarta. -  KPop Demon Hunters (2025) adalah film animasi musikal fantasi produksi Sony Pictures Animation yang dirilis di Netflix pada tahun 2025 Karya ini menampilkan grup K-pop fiksi Huntr/x terdiri dari Rumi, Mira, dan Zoey, yang menjalani kehidupan ganda sebagai penyanyi idola yang sukses di panggung dunia dan sekaligus pemburu iblis. Kisahnya digambarkan Netflix sebagai “ketika superstar K-pop Rumi, Mira, dan Zoey tidak menggelar konser, mereka menggunakan kekuatan rahasia untuk melindungi penggemar dari ancaman supranatural.” Benih cerita film ini berakar dari keinginan sutradara Maggie Kang mengeksplorasi warisan budaya Korea-nya. 


"Kang ingin menggabungkan mitologi dan demonologi Korea dengan elemen-elemen K-pop modern untuk menciptakan kisah yang “visually distinct and culturally rooted.” Pada akhirnya, KPop Demon Hunters memang berhasil menjadi jembatan budaya (cultural bridge) yang membawa warna khas budaya Korea ke panggung global. Penonton dan kritikus pun bereaksi positif: film ini meraih rating 96% di Rotten Tomatoes dan skor 7,8/10 di IMDb menandakan pujian luas untuk animasi, gaya visual, dan musiknya, "  Ujar Nehemia Pareang Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sahid, Jakarta, 05/08/2025.

Film ini tayang perdana di Netflix pada 20 Juni 2025, (Watch Kpop Demon Hunters) , "menunjukkan bahwa platform global tersebut berkomitmen menghadirkan konten beragam budaya kepada audiens internasional. 

 

Jembatan Antarbudaya: Mitologi dan K-Pop Kolaborasi

"Sejak awal, KPop Demon Hunters dirancang sebagai perpaduan antara budaya pop dan tradisi lokal. Alur cerita film ini memanfaatkan mitologi Korea misalnya legenda Honmoon, perisai magis yang diciptakan oleh tiga pemburu wanita abad lampau  dan mengawinkannya dengan skena K-pop masa kini Sutradara Maggie Kang bahkan menyatakan bahwa saat mengembangkan sejarah pemburu iblis tersebut, tim kreatifnya mengambil inspirasi dari konsep shaman wanita dalam budaya Korea tradisional; mereka dikenal “menyanyi dan menari untuk melindungi desa dan komunitas mereka.” Ucap Nehemia.


"Denganide ini, para anggota Huntr/x digambarkan tidak sekadar idola pop: nyanyian mereka secara harfiah mempertahankan penghalang magis (Honmoon) dari kekuatan jahat. Konsep unik ini menjadi contoh nyata akulturasi budaya (cultural acculturation) dan glokalisasi: unsur lokal Korea dan praktik tradisional dipadukan ke dalam medium populer (film animasi dan musik K-pop) sehingga dinikmati audiens global, " Tukasnya.

Kreasi visual juga mendukung jembatan lintas budaya film ini. Misalnya, desain kostum menampilkan hiasan tradisional seperti norigae (ornamen Hanbok) pada kostum Huntr/x, sementara Saja Boys mengenakan hanbok hitam lengkap dengan gat (topi tradisional) sebagai simbol figur jeoseung saja (grim reaper Korea) Jurnalis Korea menyebut kostum ini menghubungkan masa lalu dan masa kini Huntr/x tampil modern dengan sentuhan tradisi, sementara Saja Boys mengadopsi elemen lama dalam penampilan mereka Film ini juga menghadirkan simbol rakyat yang mengakar. 


Tokoh Jinu (ketua Saja Boys) memiliki harimau biru peliharaan dan burung magpie bermata enam. Keduanya terinspirasi dari lukisan minhwa tradisional Korea, khususnya genre Hojak-do yang populer pada masa Joseon Kehadiran satwa-satwa tersebut bukan sekadar aksesoris manis: ia adalah “direct citations from Korea’s folk art tradition” yang diinterpretasi kembali dengan hangat. Inspirasi budaya di film ini cukup dalam; misalnya, desain binatang peliharaan karakter (harimau Derpy dan burung Sussy) diambil dari gaya lukisan rakyat minhwa Korea, khususnya aliran Hojak-do yang terkenal dengan motif harimau dan magpie.Hal ini menambah lapisan otentik yang unik; bahkan menurut kritikus Park Han-sol dari The Korea Times, penggambaran satwa dalam lukisan rakyat tersebut sering menjadi “sindiran jenaka kepada yang berkuasa.” Adegan burung magpie mencuri topi harimau dalam film pun terasa seperti penghormatan lucu terhadap tradisi humor rakyat ini.


Respon kritikus lokal dan internasional mengamini kekayaan budaya dalam film ini. David Tizzard dari The Korea Times memuji bahwa film ini “secara diam-diam menangkap tekstur kehidupan sehari-hari dengan keintiman yang jarang terlihat dalam konten global,” dan menyebutnya “bukan hanya surat cinta untuk K-pop,” melainkan pandangan tajam terhadap budaya pendukungnya (Tizzard, 2025). Brandon Yu di The New York Times mencatat film ini “paling lucu saat menyindir budaya pop yang sangat dikonstruksi, dari K-pop hingga K-drama.” Ia memuji dunia yang dibangun Kang-Appelhans sebagai “charming, funny and artfully punchy,” menunjukkan keseimbangan antara penghormatan budaya dan humor cerdas (Brandon Yu, 2025). Semua ini menegaskan bahwa KPop Demon Hunters adalah produk glokalisasi yang matang: diproduksi secara global namun sarat akan ciri khas lokal. Film ini memperlihatkan bagaimana budaya Korea dapat ‘ditransmisikan’ ke panggung dunia tanpa kehilangan identitas aslinya.


Pendekatan semacam ini menggabungkan estetika lokal dan genre populer dengan cara mengesankan, mirip film seperti Encanto (2021) yang memperkenalkan musik dan warisan budaya Kolombia kepada penonton dunia (Salama, 2022), atau Turning Red (2022) yang menampilkan kehidupan keluarga Tionghoa-Kanada lewat lagu-lagu pop. Maggie Kang, yang berketurunan Korea-Amerika, serta rekan sutradaranya Chris Appelhans juga melibatkan referensi kontemporer dalam karakter mereka. 


Misalnya, gaya Huntr/x terinspirasi oleh grup K-pop nyata seperti Itzy, Blackpink, dan Twice, sementara Saja Boys menggabungkan gaya boyband top seperti BTS, Stray Kids, dan TXT. Pengisi suara film ini pun didominasi oleh aktor-aktor Korea atau keturunan Asia-Amerika. Tokoh Rumi diisi oleh aktor Amerika-Korea Arden Cho, sedangkan Mira dan Zoey diisi oleh jebolan K-pop/K-drama seperti May Hong dan Ji-young Yoo; aktor Hollywood keturunan Asia (Lee Byung-hun, Daniel Dae Kim, Ken Jeong) juga turut serta. 


Kehadiran talenta-talenta berdarah Asia ini menambah nuansa otentik tanpa mengorbankan daya tarik global. Chris Appelhans sutradara Wish Dragon (2021) juga terlibat. Ia mengaku selalu ingin mengangkat tema “kekuatan musik untuk menyatukan, membawa kegembiraan, dan membangun komunitas,” visi yang tercermin jelas dalam KPop Demon Hunters.

Keindahan Visual dan Musikalitas yang Memukau

Tak cukup dengan cerita yang kaya budaya, KPop Demon Hunters juga memukau lewat aspek visual dan musiknya. Animasi film dipenuhi warna cerah dan detail memukau seakan panggung konser K-pop yang hidup sehingga tampilannya sangat memesona. 


Dari sisi aksi dan gaya, The New York Times mencatat film ini “berbagi garis keturunan” dengan seri Spider-Verse buatan Sony, terutama dalam aksi yang ‘fluid’ dan visual yang ‘striking’. Kritikus Rotten Tomatoes bahkan menggambarkannya sebagai “berenergi menular, warna-warni yang memesona” dengan soundtrack yang luar biasa (rottentomatoes.com).

Tim animasi Sony Pictures Imageworks sendiri menggabungkan inspirasi dari pencahayaan konser, fotografi editorial, video musik, anime, dan drama Korea dalam gaya visualnya Kang menyebut timnya ingin membuat “versi CG bergaya anime,” menghilangkan elemen 2D tradisional dan memilih estetika grafis tegas serta ekspresif. Hasilnya terlihat di setiap adegan aksi dan koreografi tarian. 


"Setiap gerakan tarian dan serangan disajikan dengan keluwesan (fluidity) dan energi tinggi, selaras dengan gaya seni visual yang “menonjol.” Aksi-aksi panggung dan pertempuran bergabung dalam harmoni sinematik, kadang beralih ke gaya chibi yang lucu untuk efek komedi. Bahkan detail mulut tokoh diubah mengikuti dialek bahasa Korea, meski dialog utamanya berbahasa Inggris.



Para karakter idol Huntr/x didesain sangat glamor di panggung, mencerminkan citra superstar K-pop, namun tetap menunjukkan kepribadian ringan dan ceria di luar panggung. Kritikus Isaiah Colbert memuji visual film ini sebagai “pesona visual dekaden dan hidup” yang melanjutkan kesuksesan Spider-Verse, dengan desain karakter yang “bold and expressive.” Di balik layar, musiknya benar-benar menjadi jantung film ini. 


Semua lagu diciptakan oleh produser kelas dunia dari Teddy Park (2NE1, Blackpink) hingga penulis Barat Andrew Choi dan dinyanyikan oleh penyanyi K-pop sejati. Contohnya, single utama “Takedown” dibawakan oleh tiga anggota Twice: Jeongyeon, Jihyo, dan Chaeyoung. Sebagai contoh lain, vokal karakter Jinu juga diisi oleh Kevin Woo (mantan member U-KISS), mempertegas nuansa K-pop aslinya. Para kritikus sepakat: lagu-lagunya catchy hingga membuat pendengar tergila-gila. Colbert menulis bahwa soundtrack film ini memastikan “bahkan penonton skeptis akan menganggukkan kepala dan menggumamkan nada refrennya.” (Colbert, 2025)


"Sutradara Kang dan Appelhans pun cerdik mengintegrasikan musik ke adegan: ada duel berdarah yang berubah jadi konser tarian, video musik gemerlap untuk lagu “Golden”, serta tarian penuh gaya untuk nomor pop lainnya, " Jelas Nehemia.


Secara komersial, soundtrack KPop Demon Hunters juga melejit. Album resminya memecahkan rekor debut tertinggi di Billboard 200 2025 untuk soundtrack animasi.Lagu-lagunya pun memuncaki tangga streaming: “Golden” dan “Your Idol” bahkan sukses besar di Spotify AS, membuat Huntr/x menjadi grup K-pop wanita dengan chart tertinggi (melampaui Blackpink) dan Saja Boys menjadi grup pria tertinggi di AS.


Dengan kombinasi animasi spektakuler, musik yang “slaps”, dan pesan tentang identitas budaya, film ini seolah membuktikan teori glokalisasi: elemen lokal yang diolah dengan baik dapat dinikmati secara global. Bagi penonton kita, film ini bukan hanya seru, tetapi juga jadi sarana memahami budaya Korea lewat hiburan.

 

Penutup: Keberhasilan Glokalisasi Hiburan


KPop Demon Hunters bukan sekadar tontonan untuk penggemar K-pop. Film ini membawa misi luas: membuktikan kekuatan hiburan menghubungkan budaya. Lewat cerita dan musiknya, film ini menunjukkan bagaimana elemen tradisional Korea dapat dipadukan dengan budaya populer internasional dalam format yang sangat menghibur. 

"Bagi penonton Indonesia muda yang akrab dengan musik pop dan tarian global, KPop Demon Hunters menjadi jendela baru ke dunia Korea. Keberhasilan film ini menandakan terbukanya audiens kita terhadap cerita lintas-budaya. Sebagaimana Spider-Verse yang membawa gaya komik Amerika ke panggung dunia, dan Encanto yang memperkenalkan warisan Kolombia lewat lagu. KPop Demon Hunters menyuguhkan kekhasan Korea dalam kemasan global.


Meskipun diproduksi oleh studio barat, film ini menampilkan rasa hormat tinggi terhadap sumber budayanya. Dialog Inggris dimaksudkan agar mudah diterima penonton luas, namun detail visual dan liriknya sarat nuansa lokal. Film ini meng-glokal-kan budaya Korea menjadikannya akrab bagi penonton internasional tanpa kehilangan jati diri. Dari aspek hiburan, KPop Demon Hunters melanjutkan tren film animasi inovatif dengan perpaduan aksi dan musik. Namun yang membuatnya istimewa adalah benang merah budayanya. Film ini mengingatkan kita bahwa ketika budaya lokal diolah cerdik, ia menjadi jembatan universal. Pada akhirnya, cerita Rumi, Mira, dan Zoey adalah testimoni betapa hiburan bisa bersifat inklusif dan edukatif. Penonton diajak menari bersama mereka, sambil belajar bahwa keberagaman budaya adalah kekayaan, bukan penghalang.



Kita tidak bisa mengabaikan konteks yang lebih luas: KPop Demon Hunters lahir di era Hallyu (Gelombang Korea) yang sedang mencapai puncaknya. Perbedaan antara penonton di Seoul, Jakarta, atau New York menjadi kian tipis seiring semakin banyak orang di dunia menaruh perhatian pada K-pop dan budaya Korea. 


Karya Netflix ini memanfaatkan momentum tersebut secara sempurna. Sebagai hiburan keluarga, film ini juga menyisipkan pesan tentang penerimaan diri. Misalnya, konflik Rumi yang semula malu dengan darah iblisnya mencerminkan pergulatan identitas yang universal: banyak penonton muda belajar bahwa keunikan diri adalah kekuatan, bukan aib. Tema serupa pernah diangkat film-film animasi terdahulu seperti Inside Out (2015) dan Soul (2020), di mana musik dan cerita digunakan untuk memahami emosi dan budaya yang berbeda.


"Tidak hanya soal hiburan, KPop Demon Hunters juga menjadi pelajaran penting untuk perfilman global. Ia membuktikan bahwa ketika elemen budaya lokal dikemas cerdas, ia dapat diterima audiens manapun, " Ungkap Nehemia.


Seperti halnya Disney sukses mengadaptasi cerita asing ke layar internasional, sekarang giliran budaya kita (termasuk Indonesia) belajar dari pendekatan ini: suatu hari cerita rakyat lokal diolah dalam format milenial dan go-internasional. Sekarang tergantung kita: melihat KPop Demon Hunters sebagai hiburan seru semata, atau sebagai wujud pembelajaran budaya pop. Yang jelas, film ini adalah tambahan segar di dunia animasi global. Ia mengingatkan kita bahwa dunia hiburan bisa saling belajar, dan dengan menari bersama lintas budaya, penikmat film berhak merasa ikut merayakan keberagaman.


Film ini mengajarkan kita bahwa kreativitas bisa menembus batas dan menyatukan audiens dari berbagai latar budaya. Saat cerita ini berakhir, kita teringat bahwa musik dan mitos dari negeri yang jauh pun bisa terasa akrab jika dibawakan dengan cinta dan inovasi. Semoga tren positif ini berlanjut: siapa tahu kelak muncul animasi yang mengangkat kekayaan kisah lokal Indonesia untuk dinikmati dunia, " Katanya.


Di masa depan, kreator film animasi di seluruh dunia bisa mengambil pelajaran penting: tak ada budaya yang terlalu asing untuk dibawa ke layar global, selama dikemas dengan inovatif. Jika Korea telah membuktikan kekuatan formula ini, tidak mustahil karya serupa muncul dari Asia Tenggara. 

Misalnya, bayangkan suatu hari datang animasi yang mempopulerkan kisah Wayang atau mitos Nusantara lainnya ke panggung internasional. KPop Demon Hunters menegaskan: konten budaya apapun dapat mendapat tempat, asalkan dipresentasikan secara kekinian. Ini bukan sekadar hiburan; ini jembatan baru bagi pemirsa dunia untuk mengenal dan menghargai keragaman yang kita miliki, " Pungkasnya.

@Son/Rubrikasi.com/rksi/08/2025.


Ads vertikal
Share:
Komentar

Berita Terkini