RUBRIKASI.COM/ Jakarta. - JUMBO adalah film animasi petualangan menceritakan tentang Don, seorang anak berusia 10 tahun yang harus menghadapi kenyataan setelah kehilangan orang tuanya. Don (disuarakan oleh Prince Poetiray) dibesarkan oleh neneknya (Ratna Riantiarno) dan memiliki sebuah buku dongeng peninggalan orang tuanya yang menjadi sumber imajinasinya.
Buku ini menjadi cikal bakal petualangan Don, yang bersama sahabatnya, Mae (Graciella Abigail) dan Nurman (Yusuf Özkan), yang berusaha untuk mengikuti pentas seni. Namun, petualangan mereka terganggu ketika buku dongeng tersebut dicuri oleh Atta (Muhammad Adhiyat), seorang anak yang merasa iri pada Don.
Dalam upaya merebut kembali buku itu, Don bertemu dengan Meri (Quinn Salman), roh yang sedang mencari bantuan untuk bersatu kembali dengan roh keluarganya (Cinta Laura Kiehl dan Ariyo Wahab).
Perjalanan mereka pun dimulai. Disutradarai oleh Ryan Adriandhy, JUMBO merupakan hasil kolaborasi lebih dari 200 kreator lokal. Proses produksinya memakan waktu hampir lima tahun, yang dimulai sejak April 2020, " Ujar Nehemia Pareang di Jakarta, 26/05/2025.
Sejak tayang pada Lebaran 2025, tepatnya 31 Maret 2025, JUMBO berhasil mencatatkan prestasi luar biasa dengan 9.777.989 juta penonton di hari ke-49 penayangannya. Prestasi ini menjadikan JUMBO sebagai film Lebaran 2025 terlaris dan menempatkannya di peringkat 2 dalam daftar 10 besar film Indonesia terlaris sepanjang masa.
"Bahkan, JUMBO berhasil meraih posisi sebagai film animasi terlaris se-Asia Tenggara, sebuah pencapaian yang menggembirakan bagi industri film animasi Indonesia. Namun, meskipun meraih kesuksesan yang signifikan, JUMBO tidak lepas dari kontroversi dan kritik tajam dari berbagai pihak, " Ucapnya.
Fenomena ini membawa kita pada diskusi mengenai crab mentality dan pandangan negatif terhadap karya lokal. Crab Mentality: Fenomena di Balik Kritik Film JUMBO meskipun mendapatkan apresiasi banyak penonton, juga menghadapi kritik yang cukup tajam, terutama di media sosial. Beberapa kritik yang muncul, seperti yang disebutkan oleh Suara.com, menyebut bahwa film ini tidak lebih dari sekadar hype, dengan plot yang dianggap sederhana dan karakter yang kurang berkembang.
Beberapa kritikus membandingkan film ini dengan produksi Hollywood, dan menyebut bahwa secara keseluruhan, konsistensi dan detail kualitas animasinya masih cukup tertinggal jika dibandingkan dengan animasi global seperti Disney atau Pixar, " Katanya.
Ada pula yang menganggap bahwa keberhasilan pencapaian film ini lebih didorong oleh faktor promosi dan viralitas di media sosial daripada kualitas cerita itu sendiri. Beberapa komentar yang muncul di media sosial menunjukkan gejala crab mentality, sebuah istilah yang menggambarkan sikap menjatuhkan orang lain yang sedang sukses karena merasa iri atau tidak rela.
"Istilah ini berasal dari analogi kepiting dalam ember: ketika satu kepiting berusaha naik, kepiting lain akan menariknya turun. Ini menunjukkan bukan hanya ketidakpuasan, tetapi juga dorongan untuk menarik turun pencapaian kreator lokal yang sedang diapresiasi.
Dalam artikel kolom Suara.com, kritik-kritik ini bahkan disebut sebagai bentuk penghukuman atas imajinasi. Dalam kacamata teori komunikasi, perilaku ini mencerminkan the spiral of silence (Noelle-Neumann) di mana opini negatif yang vokal di media sosial dapat menekan suara-suara positif atau apresiatif.
"Apresiasi terhadap karya lokal seolah tak pernah cukup, selalu dibandingkan dan direndahkan. Padahal kenyataannya, film ini tetap mendapat sambutan hangat dari mayoritas penonton biasa, terutama anak-anak dan keluarga, " Tukas Nehemia.
Kritik yang paling menarik perhatian adalah tuduhan terhadap film ini yang dianggap mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai agama. Salah satu kritik mendalam datang dari Afifah Putri Ridziana, seorang konten kreator yang menyoroti karakter Meri sosok lucu, lembut, dan dekat dengan tokoh utama Don.
Dalam film, Meri dijelaskan secara eksplisit sebagai "hantu" atau roh gentayangan dari anak yang telah meninggal. Meski karakter ini dikisahkan dengan muatan emosional yang kuat dan menyentuh, kritik pun muncul dari sisi teologis dan akidah Islam.
"Menurut Afifah, konsep "hantu baik" seperti yang dihadirkan dalam film JUMBO tidak dikenal dalam Islam. Dalam pandangan aqidah, ketika seseorang wafat, ia tidak kembali ke dunia dalam bentuk roh.
Islam mengajarkan bahwa roh orang yang meninggal akan masuk ke alam barzakh dan tidak bergentayangan atau berinteraksi kembali dengan dunia manusia. Oleh karena itu, penggambaran sosok Meri sebagai "roh anak baik" yang masih bisa berinteraksi dan membantu tokoh utama dipandang sebagai penyimpangan dari prinsip dasar aqidah Islam. Afifah bahkan mengingatkan bahwa narasi seperti ini bisa membuka pintu pada pemahaman yang menyimpang terhadap prinsip dasar aqidah Islam dan mengarah pada bentuk pemakluman terhadap unsur-unsur musyrik.
"Bukan berarti semua bentuk imajinasi bisa kita telan mentah-mentah, apalagi sudah menyentuh ranah aqidah," tegas Afifah dalam komentarnya. gerakanpis.id Kritik ini membuka perdebatan lebih luas tentang batas kebebasan berekspresi dalam karya seni, "
Apakah sebuah film boleh sebebas-bebasnya mengeksplorasi tema spiritual dan mistis, ataukah tetap perlu mempertimbangkan nilai-nilai keagamaan masyarakat mayoritas? Di sinilah letak tarik-ulur antara imajinasi kreatif dan sensitivitas kultural-religius, khususnya di Indonesia yang memiliki masyarakat religius namun juga sedang bergerak menuju kebebasan artistik, " Imbuhnya.
Dalam perspektif komunikasi budaya, ini bisa dianalisis melalui teori "negotiated reading" dari Stuart Hall, yang menyatakan bahwa audiens tidak selalu menerima makna teks secara dominan. Dalam konteks ini, masyarakat bisa melakukan negosiasi, menolak, atau mengadaptasi pesan dalam film JUMBO sesuai nilai-nilai yang mereka anut termasuk dalam hal keyakinan agama.
Kritik juga muncul dari sisi kualitas naratifnya. Situs Ruminesia.id mengulas bahwa JUMBO memiliki struktur cerita yang mudah ditebak, dengan konflik yang tidak terlalu kompleks, sehingga cenderung kurang menantang bagi penonton remaja atau dewasa yang mengharapkan kedalaman cerita. JUMBO seharusnya dinikmati melalui perspektif anak-anak, bukan dengan kacamata orang dewasa yang seringkali mencari kedalaman cerita dan pesan moral yang lebih kompleks.
Film animasi ini memang dirancang untuk penonton anak-anak dengan nuansa petualangan dan fantasi yang ringan, yang penuh dengan imajinasi dan emosi yang mudah dipahami oleh anak-anak. Namun, beberapa kritik datang dari penonton dewasa yang merasa cerita ini terlalu sederhana dan klise, serta karakter-karakter yang kurang berkembang (Kompasiana.com). Film ini juga menuai kritik karena bagi anak-anak, beberapa tema yang diangkat terasa terlalu kompleks.
Salah satunya adalah konflik penggusuran makam, yang menggambarkan pengusiran makam orang tua Meri oleh pihak yang berwenang. Konflik ini bukan hanya berat, tetapi juga penuh dengan elemen hukum yang tidak mudah dipahami oleh anak-anak. Ketika film mencoba memasukkan tema yang lebih serius ini, ia menyajikan kisah yang mengandung pesan moral yang dapat membingungkan bagi penonton anak-anak.
Sehingga, film ini terjebak dalam dilema menyeimbangkan antara menjadi cerita yang menarik bagi anak-anak dan tetap mengandung pesan yang relevan bagi orang dewasa. Dalam hal ini, kritik terhadap JUMBO juga mengarah pada ketidakseimbangan antara kedalaman cerita dan audiens yang menjadi target utama film ini.
Dukungan Melalui #BuzzerJumbo Di tengah beragam kritik yang diarahkan kepada JUMBO, baik dari sisi teknis, naratif, hingga isu keagamaan, muncul gelombang dukungan besar-besaran dari masyarakat yang tergabung dalam tagar #BuzzerJumbo. Tagar ini viral di berbagai platform media sosial, terutama di X (Twitter), Threads, hingga Instagram. Tagar ini tidak hanya digunakan oleh penonton biasa, tetapi juga oleh figur publik, artis, influencer, hingga sineas profesional.
"Mereka mengajak masyarakat untuk menonton JUMBO sebagai bentuk dukungan terhadap kemajuan industri animasi lokal. Beberapa di antaranya bahkan secara eksplisit menyebut bahwa film ini merupakan “lompatan besar” bagi perfilman anak-anak dan keluarga di Indonesia. Salah satu alasan kuat munculnya tagar ini adalah semangat untuk melawan sentimen crab mentality yang menyudutkan karya lokal tanpa alasan yang konstruktif. Banyak warganet merasa bahwa JUMBO sudah berhasil menciptakan standar baru untuk animasi Indonesia dan patut diapresiasi, meskipun tidak sempurna.
"Dengan kata lain, #BuzzerJumbo bukan sekadar ajakan menonton, tapi juga menjadi simbol solidaritas kolektif untuk karya anak bangsa. Penutup: Antara Imajinasi, Kritik, dan Harapan untuk Industri Film Lokal Kisah JUMBO bukan hanya tentang petualangan anak-anak dalam dunia fantasi, tapi juga cermin dari dinamika industri film Indonesia hari ini.
Di satu sisi, film ini membuktikan bahwa karya animasi lokal bisa bersaing di level regional, bahkan menjadi film animasi terlaris se-Asia Tenggara. Namun di sisi lain, keberhasilan ini tak lepas dari bayang-bayang kritik, baik yang konstruktif maupun yang dilandasi oleh crab mentality.
"Perdebatan seputar isu keagamaan, kualitas narasi, hingga kebebasan berekspresi menunjukkan bahwa penonton Indonesia makin aktif dalam merespons karya seni. Tapi, penting juga untuk memilah antara kritik yang membangun dan sikap reaktif yang menjatuhkan.
Dukungan dari masyarakat, komunitas kreatif, hingga publik figur melalui tagar #BuzzerJumbo menjadi kekuatan kolektif yang membuktikan bahwa karya lokal layak dirayakan. Sebab pada akhirnya, JUMBO bukan hanya tentang filmnya, tapi tentang harapan akan masa depan industri animasi dan perfilman nasional yang lebih inklusif, progresif, dan imajinatif, " Pungkas Nehemia.
Daftar Pustaka A. Sumber Artikel & Berita Daring
1. Suara.com. (2025, 13 April). Membaca Kritik Film Jumbo: Kala Imajinasi Diadili Moral Publik. https://yoursay.suara.com/kolom/2025/04/13/151704/membaca-kritik-film-jumbo-kala-i majinasi-diadili-moral-publik
2. BBC Indonesia. (2025, 15 April). Film animasi Jumbo: Pencapaian, kritik, dan makna 'industri lokal'. https://www.bbc.com/indonesia/articles/clyw777yz6no
3. Islami.co. (2025, April). Film Jumbo: 4 Juta Penonton vs. 1 Kritik Ibu, Dilema Islamis di Era Komodifikasi Fantasi. https://islami.co/film-jumbo-4-juta-penonton-vs-1-kritik-ibu-dilema-islamis-di-era-komo difikasi-fantasi/
4. Ruminesia.id. (2025, April). Kekurangan Film Jumbo: Cerita Terlalu Ringan Hingga Karakter Minim Pengembangan. https://ruminesia.id/kekurangan-film-jumbo/
5. HarianKami.com. (2025, April). Di Tengah Viral dan Gokilnya Jumbo dengan Penonton 3,5 Juta, Ada-Ada Saja Film Ini Dibilang Ngajarin Musyrik. https://www.hariankami.com/keuangan-kami/23614969482/di-tengah-viral-dan-gokilnya-jumbo-dengan-penonton-35-juta-ada-ada-saja-film-ini-dibilang-ngajarin-musrik
6. GerakanPIS.id. (2025, April). Kritik Aqidah dalam Film JUMBO: Apakah Layak Disebut Musyrik? https://gerakanpis.id/opini/film-jumbo-dan-akidah/ B. Referensi Teori Ilmu Komunikasi & Budaya 1. Hall, Stuart. (1980). Encoding/Decoding. In S. Hall, D. Hobson, A. Lowe, & P. Willis (Eds.), Culture, Media, Language. London: Hutchinson. 2. Noelle-Neumann, Elisabeth. (1974). The Spiral of Silence: A Theory of Public Opinion. Journal of Communication.
@Son/Rubrikasi.com/rksi/05/2025.